Minggu, 13 Juni 2010

Masyarakat Adat Timor dan Pengingkaran oleh Negara

Oleh : Stefanus Mira Mangngi

(Tulisan ini merupakan penyempurnaan dari makalah dengan judul yang sama, yang disampaikan dalam Seminar Sehari Mengenai Revitalisasi dan Redemokratisasi Kelembagaan dan Masyarakat Adat yang diselenggarakan PIAR-NTT, di Kupang pada tanggal 09 Nopember 2004).

Pendahuluan

Dalam konteks negara, bukan hanya masyarakat adat di Timor, tetapi diseluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, bahkan juga dalam konteks internasional, kita dapat saksikan pemandangan yang demikian ironi berkenaan dengan eksistensi ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat adat yang termarjinal (atau di marginalkan) oleh konstruksi tatanan ekonomi politik (negara) modern yang kapitalis, hegemonik dan eksploitatif.

Keadaan ini terpotret jelas dalam berbagai perlakuan diskriminatif dan berbagai praktek pencaplokan terhadap kekayaan alam milik masyarakat adat sebagaimana dialami masyarakat adat Aborigin di Australia, masyarakat adat Indian di Amerika Serikat, masyarakat adat Papua, masyarakat adat Dayak di Kalimantan, masyarakat adat Sasak di Nusa Tenggara Barat, masyarakat adat Betawi di Jakarta, masyarakat adat Suku Anak Dalam di Sumatra, masyarakat adat Timor di Nusa Tenggara Timur, dsbgnya. Hal ini akan semakin tegas jika melihat/membaca laporan minewatch yang menyebutkan bahwa ± 60 % dari cadangan uranium dunia dan setengah dari emas aluvial utara telah diambil dari wilayah yang ditinggali masyarakat adat; sumber intan terbesar satu-satunya di dunia merupakan tempat suci bagi orang-orang Aborigin di Australia.

Demikian seriusnya persoalan masyarakat adat inilah yang kemudian mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk turut membicarakan dan menetapkan berbagai kebijakan bagi upaya perlindungan terhadap masyarakat adat di seantero dunia. Dan dari sekian banyaknya pertemuan mengenai masyarakat adat, kurang lebih sejak tahun 1957 yang ditandai dengan lahirnya Konvensi ILO-157 tentang Perlindungan dan Integrasi dari Penduduk Pribumi, Masyarakat Adat dan Masyarakat Semi Adat di Negara-negara merdeka (yang kemudian diganti dengan Konvensi ILO-169, mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka), Sidang Tahunan PBB di New York, tahun 1992 merupakan tahun yang sangat bersejarah bagi masyarakat adat dimanapun didunia ini. Dapat dikatakan, disinilah awal terbukanya mata dan pengakuan dunia akan eksistensi masyarakat adat dan hak-haknya yang telah diinjak-injak dan dimiskinkan oleh tatanan politik, ekonomi negara-bangsa di seluruh dunia.

Kesadaran itu jugalah yang kemudian melahirkan sebuah pengakuan, pembelaan sekaligus definisi mengenai masyarakat adat oleh PBB, dimana disebutkan masyarakat adat adalah : “Orang-orang yang menurut sejarah, secara turun temurun telah mendiami daerah tertentu. Dikawasan itulah mereka mempraktekkan adat istiadat, kepercayaan, bahasa, dan pola hubungan sosial dan ekonomi”. Oleh sebab itu adalah wajar, tatkala mereka kawasan tempat mereka berurat akar turun temurun mulai terusik, mereka bangkit menuntut hak mereka” (Lihat, Hamid Awaludin, “Mereka yang kian terpojok”, KOMPAS, 18 Juni 1993) yang selanjutnya, sebagai bentuk aksinya, PBB kemudian menetapkan tahun 1993 sebagai Tahun Masyarakat Adat Sedunia.

Karenanya, dengan realitas seperti diatas, membicarakan persoalan-persoalan yang membelenggu/memarginalkan apalagi soal revitalisasi dan redemokratisasi kelembagaan serta masyarakat adat di Indonesia, termasuk Timor, tidak bisa kita lihat sebagai persoalan internal, apalagi dipandang sekedar sebagai konsekwensi dari perkembangan peradaban dan ekonomi dunia, dalam hal ini dari dunia tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial. mereka semata, tetapi harus dilihat/ditempatkan dalam skop politik dan ekonomi negara, termasuk disini keadilan transisi sebagai tanggungjawab negara.

Hal ini menjadi sebuah keharusan oleh karena apa yang dialami masyarakat adat, bukan sebuah kondisi yang berdiri sendiri atau berjalan secara alami, melainkan merupakan akibat dari peran negara yang bukan hanya pada tataran praktek tetapi lebih jauh lagi pada tataran konsepsi dan kebijakan, telah secara sadar dan sistematis menyiapkan “prosesi dan altar pembantaian” bagi masyarakat adat di Indonesia akibat konsep politik ekonomi macro dan paradigma pembangunan ekonomi yang dianut negara.

Masyarakat Adat Dalam Pusaran Arus Pembangunan

Sebelas tahun berlalu sejak anggota PBB berkomitmen terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat adat yang diikuti dengan berbagai upaya dan kebijakan, ternyata belumlah berdampak apa-apa bagi masyarakat adat yang ada di Indonesia, apalagi yang hidup di Timor Barat atau NTT umumnya.

Slogan, Bhineka Tunggal Ika pada lambang negara kita yang menggambarkan pengakuan akan eksistensi masyarakat adat sebagai sebuah kekuatan dan kekayaan bangsa, yang juga dipertegas oleh beberapa pasal dalam UUD 1945 (Lihat, Pasal 36A UUD ’45 tentang Lambang Negara; Pasal 18B ayat (2) mengenai kewajiban negara untuk mengakui dan melindungi eksistensi dan hak-hak tradisionil masyarakat adat; dan, Pasal 28I ayat (3, 4 & 5) mengenai hak rakyat untuk bebas dari segala bentuk perlakuan yang diskriminatif, identitas budaya dan masyarakat tradisionil, sebagaimana perubahan/amandemen kedua tahun 2000), ternyata barulah sebatas jargon politik semata. Hal ini dapat kita saksikan dalam kenyataan sosial politik, dimana pandangan dan penempatan negara terhadap masyarakat adat masih dan tetap selalu sarat dengan berbagai diskriminasi dan kekerasan.

Secara praksis, pembangunan dapat dikatakan sebagai praktek/politik kolonialisme dan atau kapitalisme negara terhadap masyarakat adat—ketimbang membangun (baca : mensejahterakan) masyarakat adat itu sendiri. Realitas pembangunan bangsa dan rakyat selama ini menunjuk secara tegas bagaimana rakyat (masyarakat adat) dan sumber daya alamnya dicaplok dan dieksploitasi untuk kepentingan pemerintah (pusat dan daerah) serta elit negara dan kroni-kroninya. Masyarakat adat hanya dijadikan penonton bahkan tumbal serta “pengemis” atas hak miliknya.

Pada urusan pengelolaan sumber daya alam, berbagai kasus yang terjadi yang jelas-jelas terbukti adanya pelanggaran hak-hak dasar masyarakat adat ataupun lokal, seperti kasus PT IIU, PT KEM, Freeport, UNOCAL di Kaltim, berbagai kasus HPH di Kalimantan dan Sumatera, atau kasus pertambangan marmer di Timor Barat, kasus HTI/HKm, kasus Kawasan Industri Kupang, kasus Budidaya Mutiara di Teluk Kupang, kasus Home Base Timor Gap, Kasus Pabrik Marmer di Takari, kasus mata air Oelpua di Binilaka, kasus Aquamor di Baumata, kasus bendungan irigasi Meo Nabuasa, Kasus bendungan Linamnutu, kasus tambak udang di Pariti, dan masih banyak lagi, tetapi pemerintah tidak mampu (atau tidak mau?!) mengambil keputusan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 7 ayat (1) & ayat (4); Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1 & 2); Pasal 14 ayat (1, 2 & 3); Pasal 15 ayat (1) Konvensi ILO-169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka.

Berbagai kewajiban negara yang diamanatkan oleh Konvensi ILO-169, masih diabaikan oleh para elit penyelenggara negara dengan berbagai dalil dan manipulasi demi kehendak politik dan ekonominya. Pemerintah Indonesia, pada suatu konteks tertentu menyatakan bahwa tidak ada indigenous peoples di Indonesia, karena semua orang Indonesia adalah asli. Sementara dalam konteks lain, masyarakat adat distigmanisasi sebagai kelompok masyarakat yang statis, tradisional, dll (diukur dari cara berpakaian, akses terhadap pendidikan/teknologi/informasi, nilai dan aturan adat yang feodal, patriarkhat, nomaden, agraris, dll); Juga dicap sebagai masyarakat suku terasing; masyarakat perambah hutan; masyarakat primitif, dll. Padahal sebagai manusia yang memiliki peradaban dan hidup serta bergerak dalam konteks ruang dan waktu, masyarakat adat seharusnya dipandang/ditempatkan sebagai kelompok manusia yang dinamis, baik dari aspek nilai-nilai serta aturan maupun kelembagaannya.

Pemerintah Indonesia, hingga saat ini dengan berbagai alasan, belum mau meratifikasi Konvensi ILO-169 ini dan menjadikan kondisi ini sebagai alasan untuk melepaskan diri dari tanggungjawabnya atas persoalan masyarakat adat—sebuah sikap politik yang sangat tidak terpuji bahkan merendahkan wibawa sebagai bangsa yang anti penjajahan dan dibentuk dari kepelbagaian budaya dan suku bagsa. Apalagi, secara internasional, sebagaimana azas indivisibility {HAM (Sipil politik & Ekososbud) sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan} sebagaimana telah disepakati dalam konfrensi HAM sedunia II, di Viena, Austria, dan juga prinsip Charter Based Mecanism yaitu tanggungjawab karena telah menjadi anggota PBB dengan menyepakati Piagam PBB, selayaknya sikap Pemerintah yang tidak mau meratifikasi konvensi ILO-169 harus dipandang sebagai bukti pengingkaran negara dan adanya impunitty negara atas pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat.

Cara pandang dan penempatan negara terhadap masyarakat adat bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tetapi lebih merupakan konsekwensi dari konsep dan paradigma pembangunan ekonomi dan politik yang dianut negara yang sangat mengagung-agungkan developmentalisme yang dalam bangun ruangnya sangat kapitalistik, eksploitatif dan represif dimana modal/investasi dilihat sebagai ujung tombak, yang berarti juga kemudahan-kemudahan bagi pemilik modal. Padahal sejarah pembangunan nasional dengan konsep dan paradigma Developmentalisme tadi telah memberikan pembelajaran menarik kepada bangsa ini dimana bangunan ekonomi kita bukan saja tidak bisa bertahan dari krisis ekonomi, tetapi juga telah melahirkan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik.

Walaupun bukan satu-satunya faktor penyebab kesenjangan sosial, ekonomi dan politik dan di lain sisi, tanpa bermaksud mengurangi berbagai perubahan yang dihasilkan, namun sejarah dan fakta pembangunan ekonomi Indonesia selama rejim orde baru menunjukkan bahwa angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang demikian cepat dan pesat sesungguhnya bukanlah karena kemanjuran atau kehebatan dari konsep dan paradigma ekonomi developmentalisme melainkan lebih merupakan rejeki nomplok sebagai akibat dari naiknya harga minyak dunia (oil bonanza) akibat kejutan eksternal, yakni perang antara Israel dengan dunia Arab, pada tahun 1973 yang melahirkan embargo minyak terhadap Amerika Serikat. (Lihat, Pembangunan Tanpa Perasaan, Pustaka Pelajar, IDEA, ELSAM, Jogyakarta, 1999).

Fakta lain dan juga ironis dari konsep dan paradigma ekonomi developmentalisme, adalah pertumbuhan ekonomi yang dibimbing oleh hutang luar negeri dan beralihnya penguasaan atas potensi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi strategis lainnya, kepada pihak asing/swasta. Lebih dari itu, tentunya berubahnya peran negara yang cenderung menjadi penindas dan penghisap (baca : memiskinkan) atas rakyatnya sendiri telah juga berakibat pada tingginya potensi dan konflik horisontal maupun vertikal, kemiskinan, konflik sumber daya alam dan masalah kerusakan lingkungan. Artinya bahwa sesungguhnya konsep dan paradigma tersebut rapuh dan gagal dalam memenuhi harapan akan kemerdekaan sejati dan kesejateraan yang berkeadilan sosial.

Refleksi kritis dari kondisi ini adalah bahwa, Pertama, rakyat Indonesia, yang dalam konteks kita saat ini, masyarakat adat, telah menjadi korban, korban dan korban (entah sudah yang keberapa kalinya) dari konsep dan paradigma pembangunan ekonomi dan politik dari negara. Berbagai proses dan praktek pembangunan, mulai dari kebijakan hingga praktek pencaplokan sumber daya ekonomi/alam milik masyarakat adat sangat tegas menjelaskan posisi dan eksistensi masyarakat adat yang hanya ditempatkan sebagai obyek sekaligus tumbal bagi kepentingan sekelompok kecil orang (elit politik, birokrat, militer dan pengusaha) dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak serta pembangunan bangsa dan negara. Kedua, Secara ekonomi politik, tingkat pertumbuhan ekonomi negara yang tinggi bukanlah jaminan bagi terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, peningkatan pendapatan asli rakyat yang mensyaratkan keharusan akan pembangunan sosial, dalam hal ini perlindungan dan pengembangan terhadap daya sosial, psikologis dan politik, yakni asset’s dan akses rakyat terhadap seluruh proses dan praktek penyelenggaraan hidup bernegara, merupakan langkah bijak dan strategis dalam membangun fondasi ekonomi negara yang lebih kokoh dan berkedaulatan. Dengan kata lain, diperlukannya sebuah komitmen politik dan keberanian negara untuk mengembangkan konsep dan paradigma pembangunan ekonomi yang berbasis rakyat (bukan berbasis konglomerat/pemodal, militer dan birokrat) dan benar-benar berkeadilan sosial.

Negara Vs Masyarakat Adat ; Potret Pengingkaran Budaya dan Pelanggaran HAM di NTT

Harus diakui bahwa memang belum ada sebuah penelitian yang luas dan mendalam tentang masyarakat adat di Timor Barat sehingga sangat menyulitkan kita semua dalam mengenal dan mendalami berbagai informasi seputar keberadaan dan dinamika sosial budaya masyarakat adat di Timor Barat. Kalaupun ada, maka tulisan-tulisan tersebut tidaklah cukup untuk menginformasikan kepada kita mengenai fase-fase kehidupan, kelembagaan/tata pemerintahan adat dan berbagai kearifan dan nilai-nilai tradisional berkenaan dengan sistem pemerintahan lokal, sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, dll.

Namun dari informasi yang demikian terbatas tersebut, tidak dapat disangkal kalau Timor jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia, bahkan sebelum masuknya para penjajah (Portugis, Belanda dan Jepang) adalah sebuah bangsa yang telah memiliki sistem dan tata pemerintahannya sendiri. Dan satu hal yang juga patut dibanggakan oleh kita sebagai orang Timor bahwa sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, Timor tidak pernah menyatakan menundukkan diri terhadap Pemerintah Penjajah (kala itu)—Sebaliknya, malah melakukan perlawanan yang tidak pernah kenal menyerah.

Kembali kepada inti pembicaraan, mengenai posisi masyarakat adat di Timor berhadapan dengan negara, berbagai fakta lapangan hingga kebijakan negara selama ini sangat kental mempertontonkan kepada kita semua mengenai bagaimana negara memberangus kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat, memuseumkan hingga menstigmanisasi bahkan memproyekkan masyarakat adat demi memfasilitasi kepentingan dan mimpi segelintir elit negara kita yang telah berhasil ditipu atau diperalat oleh kekuatan ekonomi kapitalisme global. Intisari dari seluruh kebijakan dan praktek pembangunan yang dilakukan negara selama lebih dari 38 tahun yang bersentuhan dengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat lebih merupakan “prosesi dan altar pembantaian” bagi masyarakat adat itu sendiri—Bukan kesejahteraan sebagaimana tujuan dari pembangunan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa aspek dibawah ini.

a. Aspek Hukum Berkenaan dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam

“Vonis” bahwa negara lewat kebijakan dan praktek pengelolaan sumber daya agraria sebagai akar masalah konflik keagrariaan di Indonesia bukanlah sebuah tudingan tanpa bukti. Selain sedikit fakta yang telah dipaparkan diatas dan akan dipaparkan lebih gambang lagi dibawah ini, sebuah hasil study yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UNDP, beberapa tahun lalu, menegaskan “Hukum agraria yang saat ini berlaku tidak mengakui hak-hak adat rakyat atas tanah sebagaimana mestinya...dan oleh karenanya mematikan harapan untuk pelaksanaan parktek-praktek pengelolaan tanah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal ini sangat berlawanan dengan sasaran Peraturan dasar Lingkungan Hidup (UULH) dan juga Peraturan Dasar Agraria (UUPA), yang menyebutkan bahwa tanah harus dimanfaatkan dengan sistim yang berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat”.

Berbagai kebijakan/peraturan perundangan yang dikeluarkan negara secara nyata-nyata tidak pernah menghargai apalagi melindungi kedaulatan dan hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Hal ini secara tegas dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku, seperti, UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, UU No. 5 tahun 1967 yang kemudian diganti dengan UU No.41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU No. 5 tahun 1990 tetang Konservasi, Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 tahun 1999, dll, yang secara politik hukumnya lebih merupakan upaya peminggiran dan pencaplokan sumber daya alam milik masyarakat adat secara sistematis. Berbagai pengaturan mengenai eksistensi dan hak masyarakat adat yang bersifat ambiqua (mendua) dengan berbagai pembatasannya merupakan ciri yang melekat pada seluruh peraturan perundangan tersebut.

Sebagai contoh dapat kita lihat dengan jelas pada beberapa pasal dalam UU No. 5 tahun 1960 dan UU No. 11 tahun 1967, misalnya saja, pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960, yang berbunyi : “..............pelaksanaan dari hak ulayat maupun hak-hak lain kepunyaan masyarakat hukum adat harus sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, bangsa, negara serta peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Sementara dalam penjelasan pasal 3 tersebut, yang dimaksud dengan hak-hak masyarakat adat adalah apa yang didalam kepustakaan hukum adat disebut sebagai Beschi kkenrecht yang juga berarti hanya sebagai hak menguasai. Apa artinya rumusan pasal 3 dan penjelasannya tersebut?—Bahwa negara secara sadar dan sengaja, telah mengganti hak kepemilikan adat menjadi hanya sebagai hak menguasai sekaligus memberikan pembatasan atas hak-hak masyarakat hukum adat. Pembatasan mana, dalam implementasinya, kepentingan nasional, bangsa dan negara menjadi identik dengan kepentingan elit negara dan pengusaha.

Pasal lainnya yang juga tidak kalah represifnya terhadap masyarakat adat dapat kita lihat dalam UU No.11 tahun 1967, dalam hal ini pasal 25 ayat (1 & 2) dimana diatur, satu-satunya hak rakyat (masyarakat adat) hanyalah hak atas ganti rugi. Itupun dalam prakteknya masih sarat dengan manipulasi, intimidasi dan kekerasan. Juga pasal 26, 27 dan 32 ayat (2) UU No. 11 tahun 1967 yang mewajibkan rakyat untuk menyerahkan tanahnya dan tidak boleh menghalang-halangi kepentingan pengusaha.

Dalam konteks NTT berbagai peraturan seperti Peraturan Daerah (Perda) NTT No. 8 Tahun 1974 tentang Penegasan Hak atas Tanah; Perda NTT No. 2 Tahun 1996 tentang Cendana; Perda NTT No. 18 Tahun 1993 tentang Tata Cara Pemberian Ijin Usaha bahan Galian Golongan C; Perda Kabupaten Kupang No. 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pemberian Ijin Usaha Bahan Galian Golongan C; Keputusan Bupati Kupang No.30 tahun 1993 tentang Penetapan Harga Dasar Tanah; dan masih banyak lagi, juga memiliki watak serupa dengan “kakak-kakaknya” yang dipusat.

Represif dan eksploitatifnya kebijakan-kebijakan tersebut terpotret secara tegas dalam berbagai kasus yang terjadi, seperti, al : 1). Kasus pencaplokan tanah adat di Kupang Barat, NTT untuk kepentingan pengembangan kawasan industri (KI Bolok) dimana tanah milik masyarakat adat Kuanheun dan Bolok seluas 1600 ha dirampas dan oleh Pemerintah hanya diberikan yang namanya IMBALAN JASA GARAPAN, sebesar Rp. 250.-/m². Atau 2). Kasus penggusuran warga Pantai Kelapa untuk kepentingan Pembangunan Home Base Timor Gap yang kini mubasir. Tanah milik seluas 36,98 ha oleh masyarakat Pantai Kelapa yang diperoleh dari Dale Lamtua Urbanus Batipong-Laiskodat, setelah mendapat perintah dari L.C. Funay yang saat itu menjabat sebagai Vetor (Pembantu Raja Sonbai), dan selanjutnya pula telah memiliki sejumlah surat dan alat bukti kepemilikan yang kuat, seperti : Surat Land Reform tahun 1960 dan SK Gubernur NTT tanggal 20 Oktober 1971 dengan nomor : 0030.C/18/A/1971 tentang penegasan pemberian hak milik atas tanah di Pantai Kelapa-Bolok, bahkan diperkuat oleh Putusan Pengadilan Negeri Kupang atas Perkara Perdata No.50/GA/1981 antara Ishak Kefi selaku penggugat dan warga Pantai Kelapa selaku tergugat dimana dalam putusan perkara tertanggal 12 Maret 1981, dimenangkan warga Pantai Kelapa selaku tergugat, akhirnya harus dikuasai oleh PT. Elnusa lewat sebuah putusan sela oleh Pengadilan Negeri Kupang yang demikian manipulatif pada tanggal 26 Februari 1997, yang langsung diikuti dengan eksekusi selang 17 jam kemudian dimana berakibat pada meninggalnya ibu Maria Tupa dan berbagai kerugian materiil dan imateriil yang tidak pernah dibayar sampai hari ini. Ganti rugi atas tanah seluas 8,5 Ha yang seharusnya menjadi hak warga Pantai Kelapa justru diberikan kepada Ishak Kefi yang secara hukum tidak memiliki hak apapun atas tanah tersebut sesuai dengan putusan perdata Pengadilan Negeri Kupang No. 81 tahun. Sementara 8 tuntutan warga Pantai Kelapa yang kemudian disetujui oleh Alm. Paul Lawa Rihi (Bupati Kupang kala itu), hingga saat ini belum semuanya direalisasi. Atau 3). Perda tentang Cendana yang menjadi salah satu penyebab hampir punahnya populasi cendana di Timor Barat. Dalam Perda tersebut diatur bahwa segala pohon cendana yang ada termasuk yang dikembangkan/tumbuh dihalaman/kebun masyarakat merupakan milik Pemerintah dan atas pemanfaatannya, rakyat hanya berhak sebesar 20 % dari harga sebuah pohon cendana tersebut.

Selain itu juga, kasus lainnya, yakni kasus HTI/HKm seluas 60.000 Ha di Timor Barat, dimana tanah dan hutan adat rakyat dirampas tanpa proses musyawarah yang setara dan hanya lewat penetapan Pal Batas baru yang oleh masyarakat adat Mollo disebut sebagai Pal Batas Indonesia ’92 untuk membedakannya dari Pal Batas Belanda tahun 1930 dan Pal Batas Hasil Planologi tahun 1976 yang memang diakui dan ditaati masyarakat karena lewat proses yang demokratis; Kasus perampasan gunung batu marmer milik masyarakat adat di Mollo Utara dan Lelogama; Belum lagi praktek-praktek pencaplokan hutan rakyat tanpa sosialisasi dan musyawarah sebagaimana banyak terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hutan rakyat (adat) dan tanah (mamar) rakyat diambil/diklaim oleh petugas Dinas Kehutanan dan KRPH—bahkan dengan melakukan tindakan/praktek kekerasan terhadap warga. Padahal menurut warga tapal batas kawasan hutan yang telah ditetapkan masih mereka junjung tinggi dan itu adalah tapal batas kawasan hutan yang dibuat oleh Pemerintah Penjajah Belanda dan juga pada proyek Planologi tahun 1976.

Apa yang digambarkan diatas barulah pucuk gunung es dari persoalan konflik sumber daya alam yang dialami masyarakat adat di Timor Barat, yang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini, sbb :



Apa yang terjadi diatas merupakan konsekwensi logis dari corak dan politik hukum dibidang keagrariaan kita yang kental dengan praktek kapitalisme negara serta konsep Hak Menguasai Negara (HMN) direduksi sebagai domeinveerklaring yang dilakukan rejim Soeharto, sebagai akibat dari lemahnya konsep dan strategi reformasi agraria Orde Lama yang kala itu lebih menitikberatkan pada kritik terhadap aturan keagrariaan warisan kolonial Belanda dan mengabaikan realitas sosial budaya rakyat dan bangsa Indonesia yang pluralisme (Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1994. & Soetandyo Wignjosoebroto, Op Cit: fn 6, halaman 28).

Keadaan ini kemudian secara sadar, dimanfaatkan oleh rejim orde baru yang mereduksi dan mereformulasi konsep dan kebijakan reformasi agraria orde lama untuk disesuaikan dengan corak dan sistem ekonomi politik kapitalis yang dianutnya yang melahirkan struktur penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang tersentralis dan terkonsentrasi pada sekelompok orang (pemilik modal dan kroni-kroni lainnya) saja. Imbas dari semua itu, bukan saja beralihnya sumber daya agraria sebagai alat produksi rakyat, tetapi lebih jauh lagi turut menyumbang pada persoalan kemiskinan dan kesenjangan/ketidakadilan sosial lainnya, seperti meningkatnya pengangguran dan urbanisasi, aneka konflik keagrariaan, kekerasan terhadap perempuan, dll.

Dengan realitas demikian diatas, maka menjadi tidak berlebihan jika kemudian muncul berbagai protes dan tuntutan rakyat untuk segera dilakukannya Pembaruan Agraria. Apalagi negara sendiri telah mengakui, telah melakukan ketidakadilan dan eksploitasi dibidang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam TAP MPR-RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang secara substansial memerintahkan kepada Presiden RI untuk : 1) segera melaksanakan program land reform yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; 2) Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. (Lihat : Pasal 5 ayat (1) butir (b) dan (f) TAP MPR No.IX/MPR/2001). Ironisnya, tuntutan rakyat dan perintah TAP MPR tersebut belum juga dilaksanakan oleh Pemerintah. Sementara dalam konteks NTT sendiri, muncul tuntutan untuk segera dicabutnya Perda NTT No. 8 Tahun 1974 tentang Penegasan Hak Atas Tanah, yang juga ironis karena menurut Pemerintah Propinsi dan DPRD NTT periode 1999-2004, sesuai hasil pembahasan mereka bersama, Perda ini dianggap masih relevan.

b. Aspek Budaya Penyelenggaran Negara

Lagi-lagi, kasus perampasan tanah milik masyarakat adat Kuanheun dan Bolok bukan saja menjadi potret hidup dari berbagai kebijakan dibidang keagrariaan yang tidak Pro rakyat & masyarakat adat tetapi juga merupakan potret hidup soal buruknya moral/mentalitas oknum aparat negara yang represif, intimidatif dan sarat dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Salah satu contoh dari kondisi ini dapat dilihat dalam kasus pencaplokan tanah adat milik suku Baineo. Tanah adat seluas ± 2.538.190 m² atau 253.819 Ha diambil tanpa didahului dengan pendekatan/negosiasi dengan pemilik tanah, dalam hal ini Bapak Nerman Baineo selaku kepala suku, dilakukan secara intimidatif dan sarat dengan indikasi korupsi.

Panitia A (panitia pembebasan tanah) yang dengan berbekal surat pengangkatan dari Pemda NTT langsung menyerobot dan mengukur tanah milik Bapak Nerman Baineo dengan cara menipu (untuk kepentingan pajak bumi dan bangunan). Namun selesai pengukuran, oleh ketua Panitia A (Silvester Veky Banfatin, Pegawai Pemda Tk. I NTT) langsung menanyakan kepada Bapak Nerman Baineo : “Berapa uang yang Bapak butuh?—Kalau Bapak ada butuh uang, nanti minta saja sama beta (aku)”. Tidak berhasil dengan cara ini, intimidasi berbentuk bujukan dilakukan terhadap Bapak Nerman Baineo dengan mengatakan : “lebih baik bapak setuju saja untuk jual tanah ini kepada Pemerintah dengan harga Rp.250.-/m². Karena, kalau bapak tetap tidak mau maka Pemerintah bisa saja ambil secara cuma-cuma karena semua tanah di Indonesia ini adalah milik Pemerintah. Itu ada dalam Undang-Undang. Kita sebagai warga negara tidak boleh menghalangi niat baik Pemerintah untuk membangun daerah ini bagi kepentingan umum”.

Gagal membujuk dan mengintimidasi, lewat anak piara bapak Nerman Baineo, yaitu Korimus Baineo, terjadilah rekayasa penjualan tanah tersebut lewat manipulasi surat baptis dan surat pengukuran tanah oleh BPN Kab. Kupang. Perbuatan ini diketahui oleh Bapak Nerman Baineo bersama 2 orang anak kandungnya, yang secara terpaksa akhirnya mengambil alih uang sebesar Rp. 250.000.000.- demi menyelamatkan uang tersebut dari keserakahan Korimus Baineo. Demikian juga dengan panjar kedua, sebesar Rp.16.000.000.-. Sisanya sebesar Rp.244.000.000.- lenyap entah kemana. Yang pasti, menurut Bapak Nerman Baineo, hal itu tidak pernah dibayar. Bahkan tanda terima pembayaran panjar kedua tidak pernah ditandatangani oleh Bapak Nerman Baineo.

Praktek yang sama terjadi untuk semua warga pemilik tanah. Mereka dipaksa dan diintimidasi untuk menerima harga ganti rugi sebesar Rp.250/m² tanpa mengetahui secara pasti berapa luas lahannya yang diambil dan tanda bukti pembayaran tidak pernah diketahui isi dan keberadaannya. Menurut pengakuan masyarakat, mereka hanya diminta untuk menandatangani kwitansi kosong yang telah disiapkan oleh Silvester Veky Banfatin dan Korimus Banobe (Ketua dan bendahara Panitia A). Berbagai keresahan dan upaya protes masyarakat dibungkam dengan menghadirkan sejumlah aparat keamanan (Polisi, Brimob dan TNI AD) yang melakukan sejumlah aktifitas yang bersifat intimidatif.

Secara sedikit lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut ini yang menggambarkan bagaimana buruknya moralitas dan prilaku korup dari oknum aparatus negara yang dalam kasus ini semakin mempersulit adanya titik kompromi antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat adat termasuk upaya penyelesaian persoalan yang telah terjadi.



c. Aspek Kelembagaan Adat

Salah satu kesuksesan terbesar negara dalam melakukan pembungkaman dan hegemoni untuk mendukung politik ekonomi yang dianut, yang kemudian berdampak pada hancurnya nilai, adat istiadat dan kelembagaan adat bersama struktur dan perangkatnya sekaligus hilangnya kedaulatan masyarakat adat atas teritorial dan sumber daya ekonominya adalah dengan melakukan politik Bifrontal dan Segmenter.

Pemberlakuan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa lebih merupakan sebuah proses penundukan/penguasaan terhadap masyarakat adat dengan cara mengkotak-kotakkan/memecah belah dan menciptakan lembaga baru (Desa, LKMD & LMD) sebagai pengganti sekaligus mekanisme baru penyampaian aspirasi/kepentingan masyarakat, ketimbang sebagai sebuah proses pemberdayaan rakyat dan mendekatkan pelayanan negara kepada masyarakat. Bentuk terbaru dari politik segmenter negara diera otonomi ini tergambar dalam berbagai kebijakan pembentukan lembaga pemangku adat dengan kewenangannya yang sangat terbatas. Juga Eksistensi BPD yang lemah karena tidak ditopang dengan kewajiban ketat negara baik dari aspek anggaran maupun program-program penguatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya secara baik.

Kelembagaan dan perangkat masyarakat adat di statisasi dengan membentuk kelembagaan baru yang diisi oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat dengan jabatan-jabatan baru seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua LKMD, Ketua LMD, dll dan teritori administrasi adat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dengan memberikan nama baru “DESA” yang sama sekali tidak memiliki landasan antropologis dengan masyarakatnya. Sementara untuk mengacaukan sistem peradilan adat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dibentuklah yang namanya Hakim Perdamaian Desa. Belum lagi kontrol militer yang demikian kuat lewat kebijakan pembinaan teritorial, dengan kehadiran Babinsa. Apa yang dilakukan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah proses pembungkaman dan kontrol politik yang merupakan ciri dari kepemimpinan politik orde baru.

Ungkapan diatas dapat dilihat dari peran perangkat-perangkat baru bentuk negara tersebut yang kemudian menjadi agen sekaligus motor lapangan untuk berbagai kepentingan politik dan ekonomi negara dan kelas penindas lainnya dalam upaya memonitor, mengontrol dan mensukseskan berbagai praktek pencaplokan SDA masyarakat adat serta kepentingan politik kekuasaan.

“Pembunuhan” terhadap masyarakat adat oleh negara menjadi semakin sempurna dengan adanya peran lembaga agama dan tokoh agama yang “memvonis” agama suku mereka sebagai Halaik (setan/berhala). Juga peran lembaga pendidikan dan para intelektual/akademisi yang cenderung menjadi alat hegemoni sekaligus think thank dan alat legitimasi ilmiah bagi kepentingan kekuasaan dan pengusaha. Salah satu contoh, misalnya peran kelembagaan seperti PPLH yang cenderung menjadi alat legitimasi pengusaha dan pemerintah.

Memang, Orde Baru tidak saja melakukan kontrol yang cukup ketat terhadap kelembagaan pendidikan dan agama tetapi juga menjadikan kelembagaan-kelembagaan tersebut sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaan dan kepentingan ekonominya. Kelembagaan agama yang ada dimanfaatkan dengan cara melakukan pembiaran bahkan memfasilitasi dalam melakukan “perang” terhadap keyakinan dan simbol-simbol adat dan agama lokal sekaligus praktek “kristenisasi” terhadap para tokoh adat. Hal mana secara psikologis dan budaya berdampak pada semakin memudarnya nilai-nilai religius agama lokal/adat yang sesungguhnya sangat sarat dengan nilai/kearifan yang menekankan pada harmonisasi hidup antara manusia, alam, dan sang pencipta.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari persoalan struktural yang digambarkan diatas, maka sesungguhnya sebuah persoalan serius dan mengancam adalah berubahnya negara menjadi “Monster” bagi rakyatnya sendiri akibat penyalahgunaan alat kekuasaan dalam berbagai sendi kehidupan bernegara sebagai konsekwensi dari berubahnya kiblat negara yang telah menjadi agen bahkan kapitalis baru. Karenanya, untuk penyelesaian seluruh persoalan diatas diperlukan perubahan mendasar pada tujuan dan fungsi negara itu sendiri, karena sebenarnya negaralah, alat kekuasaan yang disalahgunakan. Negara harus dikembalikan pada fungsinya, untuk mensejahterakan rakyat dan membangun keadilan sosial. Negara tidak bisa menjadi wakil kepentingan kelas dominan, baik kapitalis internasional maupun domestik. Kepentingan rakyat yang mayoritaslah, termasuk masyarakat adat, yang harus menjadi dasar perumusan kebijakan ekonomi politik negara Indonesia.

Permasalahan yang telah menghasilkan kerusakan sangat parah dalam bangunan sosial, ekonomi dan politik Indonesia adalah masuknya negara dalam segala sendi kehidupan yang berdampak langsung pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran, termasuk didalamnya terhadap masyarakat adat. Sebab itu diperlukan sebuah bentuk baru keseimbangan negara dan masyarakat yang lebih sehat. Kongkritnya negara harus menarik diri dari banyak wilayah-wilayah sosial-ekonomi-politik, dan menyerahkannya kepada masyarakat, sambil tetap menjalankan fungsi pengaturan ekonomi politik yang menjamin tidak terjadinya penghisapan oleh kelas kapitalis terhadap kelas bawah.

Rekomendasi

Berkenaan dengan persoalan diatas dan untuk mencegah berlanjutnya penyalahgunaan alat kekuasaan sekaligus sebagai upaya perjuangan akan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat adat, termasuk mendorong peran serta aktif masyarakat adat dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara yang benar-benar berke-Bhineka-an Tunggal Ika yang Demokratis dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia, maka beberapa rekomendasi yang hendak saya tawarkan, sbb :

A. Untuk tingkat Nasional.

Agar Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Mohammad Yusuf Kalla:

  1. Melaksanakan amanah pasal 18B ayat (2); pasal 28I ayat (3, 4, & 5) UUD 1945 dengan secara segera meratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Konvensi ILO-169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka. Dalam konteks ini juga, perlu segera dibuatkan sebuah Undang-undang organik yang khusus mengatur tentang eksistensi, kedaulatan dan hak masyarakat adat dengan cara ratifikasi Konvensi ILO-169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka dijadikan sebagai Undang-Undang mengenai Masyarakat Adat di Indonesia.
  2. Segera melaksanakan reformasi dibidang keagrariaan sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR-RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam konteks ini juga, pluralisme hukum (adat) harus diakui dan akomodir dalam kebijakan-kebijakan negara berkenaan dengan pembaruan agraria.
  3. Segera mendesain dan mengembangkan program aksi nasional Revitalisasi dan Redemokratisasi Kelembagaan Adat yang diikuti dengan pengalokasian anggaran yang proporsional dan signifikan dalam APBN sebagai bentuk tanggungjawab dan kompensasi atas proses dan praktek penghancuran serta pencaplokan terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat adat yang telah dilakukan selama ini.
  4. Segera mengefektifkan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian berbagai konflik keagrariaan yang terjadi.
  5. Mengadili para pelanggar HAM terhadap masyarakat adat dan perusak lingkungan.

B. Untuk Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota di NTT

  1. Pemerintah Propinsi agar segera mencabut Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1974 tentang Penegasan Hak Atas Tanah dan berbagai Perda lainnya yang diskriminatif dan atau mengingkari eksistensi dan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alamnya.
  2. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota segera membuat Peraturan Daerah (Perda) serta berbagai bentuk affirmatif action bagi terwujudnya pengakuan akan eksistensi dan kedaulatan masyarakat adat, misalnya Perda tentang penyertaan saham oleh masyarakat adat berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam mereka; Perda tentang Pembaruan Desa dan Pembaruan Agraria; program aksi revitalisasi dan redemokratisasi kelembagaan dan masyarakat adat yang diikuti dengan pegngalokasian anggaran dalam APBD secara proporsional dan signifikan; dll.
  3. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota agar mengintegrasikan issue masyarakat adat kedalam kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, lebih khususnya dalam soal kemiskinan struktural.
  4. Menyelesaikan berbagai konflik agraria yang terjadi, seperti : Pencaplokan tanah masyarakat adat Bolok dan Kuanheun di Kupang Barat, kasus penggusuran dan penyelesaian ganti rugi terhadap warga Pantai Kelapa dalam kasus pembangunan Home Base Timor Gap; kasus Pabrik Marmer di Takari, Kasus tambang marmer di beberapa wilayah di Timor Barat, kasus pencaplokan tanah dan hutan untuk kepentingan HTI/HKm, dll.
  5. Melakukan reorientasi pengembangan Kawasan Industri Bolok.
  6. Menerapkan kebijakan pembangunan yang memperhatikan daya dukung ekologis wilayah, serta struktur sosial dan sistem produksi lokal.***SMM