Kamis, 17 Juni 2010

Cabut Peraturan Daerah NTT No. 8 Tahun 1974 Tentang Penegasan Hak Atas Tanah (Adat); Pesan untuk Anggota DPRD Prop. NTT yang Baru

Bulan September 2004 ini menjadi bulan yang sangat penting bagi masyarakat adat, khususnya masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) karena ada dua peristiwa politik yang sangat erat sekali dengan persoalan sekaligus pergumulan mereka mengenai posisi dan hak-haknya (hak sosial, ekonomi dan budaya) yang selama ini sangkal oleh negara.


Peristiwa pertama, pada tanggal 3 september kemarin telah dilantik 55 anggota DPRD Prop. NTT hasil PEMILU 5 April lalu. Tentunya ada banyak harapan baru dari masyarakat (adat) di NTT, karena 55 anggota DPRD tersebut dilahirkan dari sistem dan proses politik yang sedikit lebih baik (sistim proporsional terbuka setengah hati) dari sistim PEMILU yang lalu. Juga sebagian dari mereka adalah orang baru yang tentunya belum terjangkiti oleh penyakit kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang selama ini mengotori rumah rakyat. Peristiwa politik kedua, kita juga akan memperingat hari agraria yang ke-44 yang jatuh pada tanggal 24 September nanti. Sebuah hari peratapan terhadap bencana politik dan hukum yang menimpa masyarakat (adat) diseluruh Indonesia karena tanah, hutan, air, gunung batu, dll yang menjadi milik mereka dirampas oleh negara lewat berbagai peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat pusat hingga daerah yang berinduk pada UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 yang lalu.

Bagi masyarakat adat di NTT, kedua peristiwa politik ini memiliki arti yang demikian pentingnya berkenaan dengan : 1). Posisi dan hak-haknya atas tanah yang diingkari/dirampas oleh Pemerintah Propinsi NTT lewat pemberlakukan Peraturan Daerah (Perda) NTT No.8 tahun 1974 tentang Penegasan Hak atas Tanah. 2). Kasus-kasus perampasan tanah dan sumber daya agraria mereka untuk berbagai kepentingan pengusaha (HTI/HKm, pertambangan, kawasan industri, tambak garam, tambak udang, dll).

Keberadaan Perda ini menjadi dasar pembenar hukum oleh pemerintah terhadap tindakan-tindakan perampasan dan atau pengalihan sepihak atas tanah-tanah adat rakyat bagi kepentingan pengusaha yang dampaknya bukan hanya pada semakin sempitnya lahan usaha pertanian rakyat tetapi lebih parah dari itu telah merusak berbagai kearifan lokal/budaya (nilai dan aturan adat) berkenaan dengan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab termasuk benda-benda peninggalan budaya yang wajib dilestarikan.

Perda NTT No.8 Tahun 1974; Penyangkalan & Pemiskinan Terhadap Masyarakat Adat di NTT.

Secara hukum, Perda No.8/74 yang terdiri dari 5 bab dan 8 pasal tersebut merupakan penjabaran dari Hak Menguasai Negara yang diatur dalam Pasal 33 UUD ’45 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA. Obyek yang diatur oleh Perda No.8/74 ini adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat/tanah suku [pasal 1 (ayat 3)]. Pengaturan ini menjadi bermasalah oleh karena dalam Perda ini tidak ada penjelasan mengenai apa dan bagaimana yang dimaksud dengan tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat atau kapan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat berubah/beralih menjadi tanah bekas penguasaan. Dalam penjelasan pasal perpasalnya hanya ditulis “cukup jelas”.

Dengan demikian, ketiadaan batasan atau penjelasan tentang apa, kapan dan atau bagaimana tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat berubah menjadi tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat dapat dikatakan sebagai sebuah kesengajaan yang kemudian dijadikan cela oleh pemerintah daerah untuk mendefenisikan atau menterjemahkannya sesuai kehendak hatinya dan itu kemudian menjadi alasan pembenaran bagi Pemerintah untuk menguasai tanah-tanah adat di NTT. Hal ini dipertegas dalam pasal 2 ayat (1) dimana dikatakan bahwa “Tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah penguasaan pemerintah daerah Cq. Gubernur Kepala Daerah”.

Jika dikaji secara cukup mendalam, maka sesungguhnya Perda No.8/74 ini juga dibuat untuk mensukseskan kebijakan/program sertifikasi tanah oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang atau Badan Hukum yang menguasai tanah-tanah sebagai dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, perlu memiliki bukti penegasan hak atas tanah”. dan dipertegas dalam penjelasan pasal perpasalnya, khususnya penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2) yang menempatkan setifikat sebagai satu-satunya alat bukti kepemilikan yang sah. Ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap hukum positif (dimana sertifikat/alat bukti tertulis bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang sah) dan juga sistem/alat bukti kepemilikan dalam hukum adat.


Dari aspek Sosilogis, Perda ini sama sekali tidak mengakomodir hak-hak masyarakat adat atas tanah yang dibangun berdasarkan ciri dan sistem penguasaan/pemilikannya yang sarat dengan nilai-nilai kekerabatan dan kebersamaan yang pada kenyataannya masih kental/kuat di praktekkan di NTT.

Sementara dari aspek budaya, Perda No.8/74 merupakan pengingkaran terhadap arti dan nilai tanah bagi masyarakat adat tidak hanya sebagai alat produksi tetapi juga memiliki arti yang sangat regius-magis. Ini dapat dilihat dari filosofi orang Timor/Dawan dalam memaknai tanah sebagai air susu ibu, tanah tumpah darah, dll. Dengan demikian, menghilangkan arti tanah menurut masyarakat adat sama artinya menghancurkan identitas diri dan nilai-nilai luhur dari masyarakat adat. Dan itu berarti sebuah pengingkaran sekaligus upaya penghancuran terhadap masyarakat adat yang merupakan ayah sekaligus anak kandung pemilik sah dari republik ini.

Dari aspek Ekonomi, Perda No.8/74 merupakan sebuah kebijakan yang sangat merugikan/memiskinkan rakyat. Ketiadaan pengakuan apalagi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya agrarianya telah menyebabkan terjadinya penurunan hasil produksi pertanian dan juga kesenjangan ekonomi antara pemilik modal/pengusaha dengan masyarakat lokal/asli.

Kasus tambang marmer di Fatu Naususu, Naetapan dan Nua Molo, yang merampas gunung batu keramat milik masyarakat adat di Mollo Utara; kasus Kawasan Industri Bolok di Kupang Barat yang merampas tanah warga Pantai Kelapa dan tanah masyarakat adat Kuanheun dan Helong; kasus perampasan tanah milik marga Baaf-Matnay di Takari untuk kepentingan pembangunan pabrik marmer; kasus HTI/HKm, dan masih banyak lagi merupakan bukti penyangkalan dan pemiskinan terhadap masyarakat adat oleh negara.

Dengan gambaran diatas, maka sesungguhnya Perda ini sangatlah bertentangan dengan kondisi social budaya masyarakat di NTT yang masih sangat kuat dengan system kepemilikan adat. Sehingga gugatan dan tuntutan untuk mencabut Perda yang sudah berlangsung sejak ± 10 tahun lalu adalah sebuah “tuntutan” yang tidak berlebihan.

Namun semua kembali lagi kepada keberpihakan dan kepekaan para anggota dewan yang baru terpilih dan dilantik dalam melihat dan memperjuangkan kepentingan masyarakat adat yang telah memilih mereka sehingga menjadi wakil rakyat yang terhormat. Yang pasti, harapan dan tuntutan ini sekaligus juga merupakan alat uji terhadap keberpihakan dan kepekaan para anggota dewan yang dalam pemilu lalu telah banyak “mengumbar” janji kepada rakyat. Dapatkah para wakil rakyat yang baru dilantik yang kini duduk di DPRD Prop. NTT mengupayakan pencabutan Perda ini sebagai wujud komitmennya pada aspirasi masyarakat adat? Kita lihat saja.***SMM